
Begitu banyak nasihat Rasulullah Saw yang mengingatkan kita
bahwasanya sesama muslim itu terdapat ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan
yang nilai atau derajatnya lebih tinggi dibandingkan persaudaraan yang diikat
karena pertalian darah, suku bangsa atau Negara. Karena persaudaraan sesama
muslim itu diikat dengan iman.
Oleh karena itulah
sesama muslim dilarang untuk saling menyakiti dengan cara apapun. Baik dengan
cara bisikan hati, ucapan lisan, atau perbuatan. Sebaliknya, sesama muslim
justru diperintahkan untuk saling mencintai, saling melindungi, saling membela.
Seorang muslim
berhak untuk ditabayunkan atas kesalahpahamannya. Seorang muslim berhak untuk
dibaiksangkai atas perbuatannya yang dalam pandangan kita adalah keliru.
Seorang muslim berhak untuk mendapatkan rasa aman dari perkataan dan perbuatan
sesamanya.
Bukankan Rasulullah Saw pernah ditanya tentang siapakah muslim yang paling utama. Kemudian, beliau menjawab, “Yaitu orang yang bisa menjaga lisan dan tangannya dari perbuatan buruk terhadap saudaranya.” (HR. Bukhari. – shahih)
Dalam hadits yang lain, Rasulullah Saw menegaskan bahwa perbuatan
mencari- cari aib orang lain apalagi membukanya dan menyebarkannya adalah
perbuatan orang yang tidak memiliki iman di dalam hatinnya. Bahkan tergolong
kepada golongan orang munafik, karena cirri kemunafikan adalah hanya menyatakan
iman dengan ucapan, tanpa menghadirkan iman di dalam hatinya.
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai sekalian manusia yang beriman dengan lidahnya, (namun) belum masuk iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat orang- orang islam dan janganlah membuka aib mereka. Sesungguhnya orang yang membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka aibnya. Dan siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membukanya sekalipun di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi.– Hasan Gharib menurut Imam Tirmidzi).
Rasulullah Saw bersabda, “Wahai sekalian manusia yang beriman dengan lidahnya, (namun) belum masuk iman ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat orang- orang islam dan janganlah membuka aib mereka. Sesungguhnya orang yang membuka aib saudaranya yang muslim, maka Allah akan membuka aibnya. Dan siapa yang aibnya dibuka oleh Allah, maka Allah akan membukanya sekalipun di dalam rumahnya.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi.– Hasan Gharib menurut Imam Tirmidzi).
Jikalau
Allah membuka aib-aib kita, maka sungguh tiada seorang pun atau sesuatu apapun
yang bisa menutupinya. Tak ada yang bisa menyelamatkan kita. Sedikitpun kita
tak akan bisa mengelak. Namun sebaliknya, jikalau Allah menyelamatkan kita
sebagai balasan atas sikap kita yang membela, menolong dan menutupi aib sesame
muslim, maka sungguh tak ada yang bisa menghalanginya.
Mencari-cari
dan membuka aib orang lain adalah perbuatan tercela. Bahkan jangankan aib orang
lain, membuka aib diri sendiri saja adalah perbuatan yang dilarang oleh
Rasulullah Saw. Beliau bersabda, “Setiap umatku dimaafkan kecuali orang yang
terang-terangan (melakukan maksiat). Dan termasuk terang-terangan adalah
seseorang yang melakukan perbuatan maksiat di malam hari , kemudian di pagi
harinya ia berkata: “Wahai fulan, kemarin aku telah melakukan ini dan itu-
padahal Allah telah menutupnya- dan di pagi harinya ia membuka tutupan Allah
atas dirinya.” (HR. Bukhari Muslim, — Shahih).
Namun, penting untuk dipahami bahwa maksud menutupi aib
sesama muslim itu bukan berarti menutup-nutupi perbuatan muslim yang berbuat
kezhaliman. Apalagi jika itu adalah perbuatan jahat yang sudah seharusnya
diadili dan mendapatkan hukuman. Tolong- menolong hendaknya dilakukan dalam
kebaikan, tidak dalam kejahatan.
Ada keteladanan yang amat mulia dicontohan oleh Rasulullah Saw.
Ketika itu, usai menunaikan shalat Ashar di Masjid Quba, salah seorang sahabat
mengundang Rasulullah dan jamaah singgah ke rumahnya untuk menikmati sajian
daging unta. Ketika sedang makan- makan, tiba-tiba tercium aroma kurang sedap.
Rupanya ada salah seorang dari yang hadir yang buang angin. Para sahabatpun
saling menoleh.
Rasulullah Nampak
kurang berkenan dengan keadaan itu. Maka, ketika waktu shalat Maghrib hampir
tiba, sebelum bubar, Rasulullah Saw berkata, “Barangsiapa yang makan daging
unta, hendaklah ia berwudhu.” Mendengar perintah Rasulullah itu, maka semua
yang hadirpun mengambil air wudhu. Sehingga terhindarlah aib orang yang buang
angin. Karena jika Rasulullah tidak memberikan perintah tersebut, amat mudahlah
hadirin mengetahui siapa yang buang angin tadi.
Dalam Al Bidayah wan Nihayah karya Imam Ibnu Katsir
disebutkan sebuah kisah. Satu ketika Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah
menyebutkan kejjelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Lalu ia
memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah engkau pernah ikut memerangi bangsa
romawi?” Aku menjawab, “Tidak”.
Ia bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”
Ia bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”
Kemudia ia berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selamat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?!”. Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu.”
Sahabat, demikianlah.
Semoga Kita selalu diberikan Hidayah dan Kekuatan untuk
selalu menghindari perbuatan membuka Aib dan menjelek-jelekkan orang lain, saudara sesama muslim.
SALAM GURU INDONESIA






